Pernikahan Adalah Akad

Pernikahan adalah akad atau ikatan.
Akad untuk beribadah,
Akad untuk membangun rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah.
Pernikahan adalah akad untuk saling mencintai,
akad untuk saling menghormati dan menghargai.
Pernikahan adalah akad untuk saling menguatkan keimanan,
akad untuk saling meningkatkan ketakwaan,
akad untuk mengokohkan ketaatan kepada Tuhan,
akad untuk berjalan pada tuntunan Kenabian.
Pernikahan adalah akad untuk saling menerima apa adanya,
akad untuk saling membantu dan meringankan beban,
akad untuk saling menasihati,
akad untuk setia kepada pasangannya dalam suka dan duka,
dalam kesulitan dan kesuksesan, dalam sakit dan sehat,
dalam tawa dan air mata.
Pernikahan berarti akad untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan,
akad untuk saling melindungi,
akad untuk saling memberikan rasa aman,
akad untuk saling mempercayai,
akad untuk saling menutupi aib,
akad untuk saling mencurahkan perasaan,
akad untuk berlomba melaksanakan peran kerumahtanggaan.
Pernikahan adalah akad untuk mudah mengakui kesalahan,
akad untuk saling meminta maaf, akad untuk saling memaafkan,
akad untuk tidak menyimpan dendam dan kemarahan,
akad untuk tidak mengungkit-ungkit kelemahan,
kekurangan, dan kesalahan.
Pernikahan adalah akad atau ikatan.
Akad untuk tidak melakukan pelanggaran,
akad untuk meninggalkan kemaksiatan,
akad untuk tidak saling menyakiti hati dan perasaan,
akad untuk tidak saling menorehkan luka,
akad untuk tidak saling menyakiti badan pasangan.
Pernikahan adalah akad untuk mesra dalam perkataan,
akad untuk santun dalam pergaulan,
akad untuk indah dalam penampilan,
akad untuk sopan dalam mengungkapkan keinginan,
akad untuk berlaku lembut kepada pasangan,
akad untuk memberikan senyum termanis,
akad untuk berlaku romantis dan selalu berwajah manis.
Pernikahan adalah akad untuk saling mengembangkan potensi diri,
akad untuk adanya saling keterbukaan yang melegakan,
akad untuk saling menumpahkan kasih sayang,
akad untuk saling merindukan,
akad untuk saling membahagiakan,
akad untuk tidak adanya pemaksaan kehendak,
akad untuk tidak saling membiarkan,
akad untuk tidak saling mengkhianati,
akad untuk tidak saling meninggalkan,
akad untuk tidak saling mendiamkan.
Pernikahan adalah akad untuk menebarkan kebajikan,
akad untuk mencari rejeki yang halal dan thayib,
akad untuk menjaga hubungan kekeluargaan,
akad untuk berbakti kepada orang tua dan mertua,
akad untuk mencetak generasi berkualitas,
akad untuk siap menjadi bapak dan ibu bagi anak-anak,
akad untuk membangun peradaban masa depan.
Pernikahan, adalah akad untuk segala
yang bernama kebaikan!”
-Cahyadi Takariawan-

Pasangan Favorit

Dalam perjalanan pulang ditemani lagu lawas yang diputar supir angkot.

Nyambung dengan posting sebelumnya, saya ingin menceritakan tentang kakak kelas sebut saja A’ Adeyasa dan teh sebut saja Bunga.

Salah satu pasangan yang kalo ada acara perPTBan entah syuro, dauroh, ato apapun mampu menarik perhatian saya. Satu hal yang saya salut dari beliau berdua adalah bagaimana saya bisa melihat secara langsung yang namanya saling ta’awun dan membackup pasangan masing-masing. Utamanya dalam mendidik 2 krucilnya yg masih batita dengan jarak 1 tahunan. Ditengah kegiatan mimpin/ikut syuro dan acara-acara lainnya, mereka masih bisa multitasking mengurus anak. Sambil ngasih makan lah, mandiin, nina boboin, bahkan bermain!.

Apakah gampang? Rasanya tidak, nampak terlihat kadang kerepotan, suka teralih perhatiannya, dll. Tapi yang saya salut adalah bagaimana mereka bahu-membahu melewati itu semua. Nampak pancaran semangatnya untuk tetap bisa menunaikan amanah-amanah yg diemban walau harus riweuh, amanah di keluarga dan amanah dakwah. Dua amanah yang kadang menjadi momok sebagian aktivis dakwah. Karena ketika tidak bisa adil dikedua sisinya, bisa membawa keterpurukan di sisi yang lain.

Sebenernya mungkin banyak juga pasangan yang kayak gini, cuman beehubung yang sering ketemu diaktifitas sehari-hari ya ini, heu..

Udah gitu aja ._.
-udah sampe di rumah-

Beberapa Hal

Beberapa waktu kebelakang (mungkin sekitar Mei) rasanya ritme kesibukan mulai menanjak. Kesibukan pekerjaan dan amanah seperti berlomba-lomba mencari perhatian. Rumah-kantor-sekret udah kayak rutinitas yang membuat waktu berlalu sangat cepat.
Belum lagi kesibukan tambahan menjelang Ramadhan yg bikin @_@

Tadi di suatu grup yang berisikan “orang tua” yang sedang membicarakan kelanjutan masa depan si kincir jus jeruk. Si teteh galak curcol, hehe. Katanya yang bersangkutan sulit manajemen waktu pasca punya anak. Sebenernya ini bukan hal yg aneh sih, udah beberapa waktu dari bertahun-tahun yang lalu juga memperhatikan kakak kelas yang sudah menikah, mau sebelumnya semilitan apapun pasti akan mengalami penurunan performa, setidaknya 100% pengamatan faktanya seperti ini. Nah hanya saja sejauh mana penurunan ini berefek, maka tiap orang berbeda-beda. Ada yang adaptasinya cepet lantas bisa kembali ke performa asal bahkan lebih baik, ada yang lama, stagnan, lantas ada yang menghilang dari peredaran. Adaptasi laki-laki biasanya lebih cepet, perempuan biasanya agak lama (ditambah kalau hamil).

Terus jadi mikir..
Kalau dengan kondisi sekarang aja masih suka keteteran dengan berbagai hal, terus nanti gimana?
Bukan cuman waktu untuk orangtua-amanah-kerja aja, akan ada tambahan istri-anak-mertua, belum lagi lingkungan sosial juga bakal menuntut kontribusi kita, dan keluarga besar yang lain juga. Terus katanya mau lanjut studi juga kan? Haha..

Kalo dipikirin emang kayaknya pusing ya, heu..
Cuman katanya emang jangan dipikirin aja sih, tapi lakukan saja!
Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha..

“Just do your best, let Allah do the rest.”

Besok pengen cerita tentang Aa itu dan Teteh itu ah, ama jadi inget ceramah ustadz Nouman yg itu.
Tapi besok aja, sekarang udah ngantuk, heu..

Btw, bye bye Agustus..

-Purnama Dzulqa’dah-

[Bekal 6] Menapaki Barakah

Dapet insight baru tentang ayat ini dari penjelasan ustadz Salim.

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS Al Imraan : 33-34)

https://m.youtube.com/watch?v=RbjjVhxSqgg

“Doa itu bukan soal kapan dijawab. Doa itu soal seberapa luas dia memberkahi.
Allah itu selalu memberi lebih dari yang kita minta, karena yang tidak kita minta saja diberi, kalau kita minta, Allah memberi yang lebih baik.”
-Salim A Fillah-

[#Bekal 5] Investasi Paling Menguntungkan

Dalam perjalanan ke tempat makan siang biasanya saya melewati mushola untuk mengetahui ada kajian atau enggak (tiap pekannya suka random). Ternyata hari ini ada, tandanya adalah layar infokus yang membentang di samping meja imam. Maka saya pun bergegas untuk segera menyelesaikan makan siang agar bisa mendapat shaff terdepan nanti. 
Sebelum adzan dzuhur sekilas saya mendengar ada yang sedang mengobrol dengan imam mushola, ketika saya menengok ternyata ustadz Bendri. Salah seorang ustadz yang tidak asing bagi anak FT UI karena beliau cukup rajin mengisi di kampus dulu, ditambah beliau sempat juga mengisi di sini beberapa kali. Tema kajiannya pun sudah dapat ditebak, tentang keluarga.

Judul kali ini adalah Anak Investasi Dunia Akhirat. Bahwa salah satu poin penting dalam hal mendidik anak adalah bahwa ia bukan sekedar menghidupi makhluk hidup yang identik dengan pemenuhan hal-hal materi saja, akan tetapi lebih dari itu. Kita sedang melakukan proses kaderisasi keimanan.

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS Ath-Thuur : 21)

Dari kaderisasi keimanan ini kita akan mendapatkan keuntungan dunia dan akhirat sekaligus.

Keuntungan dunianya adalah anak kita akan menjadi Qurrota’ayun, anak-anak yang akan menjadi penyejuk jiwa (Kalo istilah ustadz Nouman “coolness of the eye”). Anak-anak yang dapat merubah kondisi ketika kita pulang ke rumah dalam keadaan capek dan penat di tempat kerja menjadi segar dan semangat kembali, lewat senyumnya, binar matanya, pelukannya. Anak yang ketika pulang kita dapati sedang tilawah, atau menambah hafalan Qur’annya, atau memurajaahnya, atau sedang dzikir petang.
Kalau ilustrasi dari ustadz Nouman seperti kita baru menembus badai pasir di padang gurun, lalu kita menemukan tempat berteduh yang dapat mengistirahatkan badan dan mata kita yang sejak tadi kemasukan pasir. Bukan anak yang ketika kita pulang membawa kekhawatiran akan laporan dari orang sekitar karena berantem ama tetangga, salah gaul, bermasalah di sekolah, sampai berurusan dengan kepolisian.

Keuntungan akhiratnya adalah nanti di akhirat derajat kita akan ditinggikan.

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla akan mengangkat derajat seorang hamba yang sholeh didalam syurga, hamba itu kemudian bertanya:”Ya Rabbi,darimana derajat ini aku peroleh?” Allah ‘azza wajalla menjawab:”Karena anakmu meminta ampunan kepadaku.”
(HR Ahmad dan Ibnu Majah)

dan tentu kita ingat ganjaran bagi orang tua yang mendidik anaknya menjadi Ahlul Qur’an.

Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaiakan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab,”Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an.”
(HR. Al-Hakim)

Ketika anak berhasil kita didik dengan baik, maka anak pun akan inisiatif mendoakan tanpa perlu dipaksa. Karena dia sudah paham bahwa mendoakan merupakan salah satu bentuk baktinya kepada orang tua.

Perlu menjadi catatan bahwa mendidik anak bukanlah perkara yang enteng, sehingga mengurus dan mendidiknya bukanlah pekerjaan sambilan! Anak yang lahir dari orang tua yang abai akan menjadi anak yang penuh dengan masalah. Mengurus anak itu utang piutang, apa yang tidak kita berikan hari ini akan kita “bayar” di masa depan ketika anak sudah dewasa.

“Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai”
(Pepatah Arab)

Ketika kita tidak memberikan perhatian yang semestinya kepada anak ketika kecil, maka anak pun tidak akan memperhatikan kita ketika mereka dewasa.

Nasehat yang mirip juga pernah disampaikan oleh ustadz Nouman yang kira-kira isinya pesan untuk para ayah. Perlu menjadi perhatian bahwa apa-apa yang kita (laki-laki) lakukan di luar rumah untuk mencari nafkah adalah dalam rangka menunaikan kewajiban kita di rumah. Materi yang kita cari hanyalah salah satu bagian kewajiban dari bingkai kewajiaban yang lebih besar. Maka jangan sampai kesibukan mencari nafkah di kantor lantas melalaikan dari bagian kewajiban di rumah. Justru pekerjaan sebenarnya bagi ayah adalah ketika sampai di rumah. Jangan sampai karena ketiadaan perhatian orang tua lantas anak mencari orang tua lain di luar sana, “orang tua online” misalkan.

Sebagian nasehat dari ustadz Fauzhil Adhim yang saya ingat juga mirip-mirip seperti itu. Status seorang suami dan ayah tidak melepaskan dari tanggung jawab mendidik anak, ayah punya porsi untuk membangun jiwa anak. Sosok ayah diperlukan untuk membentuk kepribadian anak. Maka beliau memberikan anjuran setidaknya setiap hari jangan lewatkan 2 waktu ini. Mendampingi anak ketika bangun tidur dan mengantarkan anak ketika akan tidur.

Teladan dalam Al Qur’an

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS Al Imraan : 33-34)

Menarik untuk kita cermati bahwa ternyata Allah telah menjadikan 4 “tokoh” dalam ayat tersebut dengan kemuliaan dilebihkan dari sebagian yang lain, lalu apa hikmah dan ibrah dari ayat ini?

Kita bisa mengamati dari terjemahannya juga dari ayat aslinya bahwa ada perbedaan ketika Allah menyebutkan nama-nama di ayat itu. Allah langsung menyebut nama Nabi Adam dan Nabi Nuh, akan tetapi ketika menyebut Nabi Ibrahim dan Imran Allah juga menyertakan “keluarganya”. Dari sini dapat kita ambil hikmahnya bahwa kelurga Ibrahim dan keluarga Imran merupakan salah satu potret keluarga sukses yang perlu kita contoh. Lalu apa syaratnya sebuah keluarga itu bisa dibilang sukses? Kira kira ada 3 hal indikatornya:

1. Punya pasangan yang baik
2. Punya anak yang baik
3. Punya cucu yang baik

Keluarga Ibrahim dan keluarga Imran mempunyai ketiga syarat itu, tapi tidak Nabi Adam yang memiliki anak seorang pembunuh dan Nabi Nuh yang memiliki istri dan anak yang kafir.

Dari sini kita bisa mengambil ibrah bahwa, walaupun keluarga Nabi Adam dan Nabi Nuh tidak masuk kategori “keluarga sukses” tapi ternyata kedua Nabi ini masuk dalam ayat ini sebagai manusia pilihan dan tidak mengurangi kemuliannya.

Nabi Adam sebagai pribadi yang cepat mengakui kesalahan dan bertaubat tanpa banyak alasan (evaluasi internal), tidak menyalahkan syaitan yang menjebaknya sehingga diturunkan ke bumi. Maka dalam hal apapun, jangan bermudah-mudah menyalahkan orang lain, lakukanlah evaluasi dan muhasabah diri terlebih dahulu. Contohnya dalam mendidik anak, seandainya ada perilaku anak yang kita anggap tidak pantas maka jangan cepat menyalahkan orang lain (gurunya, temannya, tetangga, dll). Coba evaluasi diri sendiri jangan-jangan sebagai orang tua memang ada hal yang tidak kita tunaikan dengan benar. Nafkah yang halal, perhatian yang utuh, pengajaran yang semestinya, dan lain hal.

Nabi Nuh kita tau sebagai salah satu Nabi yang paling gigih berdakwah, 900 tahun lebih berdakwah dengan hanya 40an orang yang setia. Akhirnya bahkan istri dan anaknya sendiri tidak mau ikut beriman. Dari sini kita harus benar-benar pahami bahwa hidayah mutlak kuasa Allah, kita hanyalah ditugaskan untuk ikhtiar semaksimal mungkin. Ketika ada orang tua yang tidak sabar dalam mendidik anaknya lantas bahkan ada yang mengusir anaknya sendiri, maka ia sebenarnya seperti Nabi Yunus yang pergi meninggalkan umatnya karena kecewa. Maka orang tua tersebut pun berpotensi mendapatkan hukuman dari Allah berupa gelapnya hidup sebagaimana Nabi Yunus merasakan gelapnya perut ikan paus. Dikarenakan ketidak sabarannya dalam mendakwahi dan mendidik anaknya. Proses memang susah karena hadiahnya syurga, kalo mudah hadiahnya voucher pulsa XD.

Lalu kita beranjak kepada keluarga Ibrahim dan keluarga Imran. Walau keduanya masuk klasifikasi yang sama sebagai model keluarga sukses, tapi ada beberapa perbedaan mendasar yang bisa kita jadikan sebagai contoh dan pembelajaran.

1. Keluarga Ibrahim merupakan keluarga para Nabi, sedangkan keluarga Imran tidak (cuman Nabi Isa). Langsung nangkep kan maksudnya? J
Kita tidak perlu khawatir seandainya kita bukan dari keturunan keluarga aktivis ataupun keluarga dai, sebuah keluarga sukses itu bisa kita bangun terlepas kita dari keturunan keluarga dakwah ataupun dari keluarga biasa, keluarga dai itu bisa dimulai dari kita.

2. Keluarga Ibrahim poligami sedangkan seluarga Imran monogami. Jadi tidak ada tuh istilah yang poligami lebih mulia dari yang monogami, ataupun sebaliknya. Keduanya butuh ilmu untuk menjalaninya, tanpa ilmu yang ada keluarga bisa berantakan, baik yang poligami ataupun yang monogami.

  1. Keluarga Ibrahim Nomaden, sedangkan keluarga Imran permanent residence. Ini dilihat dari mobilitas kepala keluarganya. Kalo kata ustadz Bendri di suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi Ibrahim punya 4 istri di mana masing-masing istri tinggal di wilayah yang berbeda. Jarak antar wilayah satu ke yang lain bisa 2 bulan. Jadi disetiap mengunjungi istrinya Nabi Ibrahim butuh 3 bulan (1 bulan menetap, 2 bulan perjalanan).

    4. Lalu Keluarga Ibrahim itu full parent, anaknya banyak, dan semuanya laki-laki. Sedangkan keluarga Imran itu single parent (Imran sudah wafat ketika Maryam lahir), anaknya satu, dan perempuan.

    Dari perbedaan kondisi itu seolah-olah Allah ingin memberi pelajaran kepada kita bahwa kita bisa mendirikan keluarga sukses dengan kondisi apapun. Dari keluarga dai atau bukan, monogami atau poligami, nomaden atau permanent resident (saya kok menerjemahkannya jadi udah punya rumah netap atau kontrak, heu), full parent (ayah ibu lengkap) atau single parent, anak banyak atau dikit, anak laki atau perempuan. Apapun kondisinya, predikat keluarga sukses (pasangan baik, anak baik, cucu baik) bisa kita upayakan.

    Intinya, jadilah orang tua yang amanah..

    Bahkan sekalipun seandainya dengan berbagai ikhtiar dan doa maksimal kita ternyata keluarga sukses itu tidak kita dapatkan, Allah tidak menutup pintu kita bisa sukses sebagai pribadi. Sebagaimana yang Allah telah tunjukan dengan tetap menjadikan Nabi Adam dan Nabi Nuh sebagai manusia yang mendapatkan keutamaan. Karena pada akhirnya kita pun akan dihisab sendiri-sendiri bukan? Jadi jangan sampai menikah dan berkeluarga itu dijadikan tujuan akhir agar bisa hidup senang dan bahagia. Menikah dan berkeluarga itu sarana untuk meningkatkan ketakwaan kita, bentuk ibadah lain disamping ibadah yang sudah ada.

    Jadi yang sudah menikah dan juga yang sudah dikaruniai anak, syukurilah dan jadikan sebaik-baiknya ibadah dan bentuk penghambaan kepada Allah.

    Buat yang belum, upayakan itu harus karena perintah Allah dan merupakan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wasallam. Namun ketika waktunya belum tiba, penuhilah dengan banyak ibadah yang lain agar amalan ibadahnya bisa mengimbangi atau bahkan melebihi dengan yang sudah menikah dan punya anak. Jadi inget becandaan ustadz Bendri yang tadi, “Kalo jomblo (yang bener) itu biasanya tingkat tauhid Uluhiyyahnya tinggi, karena benar-benar bisa merasakan cinta itu ke Allah aja”. Heu..

    Teruntuk para keponakan Umar, Salman, Khalid, Azzam, Rasydan dan adiknya, Zhafran dan adiknya, Aurora dan Segara, Mia dan Hana beserta adik-adiknya, Tsaqif, Yumi, Fazza, juga calon keponakan lainnya jalur F&F&F dan DS lainnya. Semoga kalian Allah jadikan sebagai para jundi dakwah penerus perjuangan orang tua kalian, dan dikokohkan kaki kalian dalam jalan keistiqomahan yang memberatkan bumi ini dengan firman-firman Allah.

    Rabbanaa hablanaa min azwajinaa, wa dzurriyyatina qurrota’ayun, waj’alna lil muttaqiina imaamaa..

#catetankajiandengantambahan