Pasangan Favorit

Dalam perjalanan pulang ditemani lagu lawas yang diputar supir angkot.

Nyambung dengan posting sebelumnya, saya ingin menceritakan tentang kakak kelas sebut saja A’ Adeyasa dan teh sebut saja Bunga.

Salah satu pasangan yang kalo ada acara perPTBan entah syuro, dauroh, ato apapun mampu menarik perhatian saya. Satu hal yang saya salut dari beliau berdua adalah bagaimana saya bisa melihat secara langsung yang namanya saling ta’awun dan membackup pasangan masing-masing. Utamanya dalam mendidik 2 krucilnya yg masih batita dengan jarak 1 tahunan. Ditengah kegiatan mimpin/ikut syuro dan acara-acara lainnya, mereka masih bisa multitasking mengurus anak. Sambil ngasih makan lah, mandiin, nina boboin, bahkan bermain!.

Apakah gampang? Rasanya tidak, nampak terlihat kadang kerepotan, suka teralih perhatiannya, dll. Tapi yang saya salut adalah bagaimana mereka bahu-membahu melewati itu semua. Nampak pancaran semangatnya untuk tetap bisa menunaikan amanah-amanah yg diemban walau harus riweuh, amanah di keluarga dan amanah dakwah. Dua amanah yang kadang menjadi momok sebagian aktivis dakwah. Karena ketika tidak bisa adil dikedua sisinya, bisa membawa keterpurukan di sisi yang lain.

Sebenernya mungkin banyak juga pasangan yang kayak gini, cuman beehubung yang sering ketemu diaktifitas sehari-hari ya ini, heu..

Udah gitu aja ._.
-udah sampe di rumah-

[#Bekal 5] Investasi Paling Menguntungkan

Dalam perjalanan ke tempat makan siang biasanya saya melewati mushola untuk mengetahui ada kajian atau enggak (tiap pekannya suka random). Ternyata hari ini ada, tandanya adalah layar infokus yang membentang di samping meja imam. Maka saya pun bergegas untuk segera menyelesaikan makan siang agar bisa mendapat shaff terdepan nanti. 
Sebelum adzan dzuhur sekilas saya mendengar ada yang sedang mengobrol dengan imam mushola, ketika saya menengok ternyata ustadz Bendri. Salah seorang ustadz yang tidak asing bagi anak FT UI karena beliau cukup rajin mengisi di kampus dulu, ditambah beliau sempat juga mengisi di sini beberapa kali. Tema kajiannya pun sudah dapat ditebak, tentang keluarga.

Judul kali ini adalah Anak Investasi Dunia Akhirat. Bahwa salah satu poin penting dalam hal mendidik anak adalah bahwa ia bukan sekedar menghidupi makhluk hidup yang identik dengan pemenuhan hal-hal materi saja, akan tetapi lebih dari itu. Kita sedang melakukan proses kaderisasi keimanan.

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS Ath-Thuur : 21)

Dari kaderisasi keimanan ini kita akan mendapatkan keuntungan dunia dan akhirat sekaligus.

Keuntungan dunianya adalah anak kita akan menjadi Qurrota’ayun, anak-anak yang akan menjadi penyejuk jiwa (Kalo istilah ustadz Nouman “coolness of the eye”). Anak-anak yang dapat merubah kondisi ketika kita pulang ke rumah dalam keadaan capek dan penat di tempat kerja menjadi segar dan semangat kembali, lewat senyumnya, binar matanya, pelukannya. Anak yang ketika pulang kita dapati sedang tilawah, atau menambah hafalan Qur’annya, atau memurajaahnya, atau sedang dzikir petang.
Kalau ilustrasi dari ustadz Nouman seperti kita baru menembus badai pasir di padang gurun, lalu kita menemukan tempat berteduh yang dapat mengistirahatkan badan dan mata kita yang sejak tadi kemasukan pasir. Bukan anak yang ketika kita pulang membawa kekhawatiran akan laporan dari orang sekitar karena berantem ama tetangga, salah gaul, bermasalah di sekolah, sampai berurusan dengan kepolisian.

Keuntungan akhiratnya adalah nanti di akhirat derajat kita akan ditinggikan.

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla akan mengangkat derajat seorang hamba yang sholeh didalam syurga, hamba itu kemudian bertanya:”Ya Rabbi,darimana derajat ini aku peroleh?” Allah ‘azza wajalla menjawab:”Karena anakmu meminta ampunan kepadaku.”
(HR Ahmad dan Ibnu Majah)

dan tentu kita ingat ganjaran bagi orang tua yang mendidik anaknya menjadi Ahlul Qur’an.

Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaiakan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab,”Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an.”
(HR. Al-Hakim)

Ketika anak berhasil kita didik dengan baik, maka anak pun akan inisiatif mendoakan tanpa perlu dipaksa. Karena dia sudah paham bahwa mendoakan merupakan salah satu bentuk baktinya kepada orang tua.

Perlu menjadi catatan bahwa mendidik anak bukanlah perkara yang enteng, sehingga mengurus dan mendidiknya bukanlah pekerjaan sambilan! Anak yang lahir dari orang tua yang abai akan menjadi anak yang penuh dengan masalah. Mengurus anak itu utang piutang, apa yang tidak kita berikan hari ini akan kita “bayar” di masa depan ketika anak sudah dewasa.

“Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai”
(Pepatah Arab)

Ketika kita tidak memberikan perhatian yang semestinya kepada anak ketika kecil, maka anak pun tidak akan memperhatikan kita ketika mereka dewasa.

Nasehat yang mirip juga pernah disampaikan oleh ustadz Nouman yang kira-kira isinya pesan untuk para ayah. Perlu menjadi perhatian bahwa apa-apa yang kita (laki-laki) lakukan di luar rumah untuk mencari nafkah adalah dalam rangka menunaikan kewajiban kita di rumah. Materi yang kita cari hanyalah salah satu bagian kewajiban dari bingkai kewajiaban yang lebih besar. Maka jangan sampai kesibukan mencari nafkah di kantor lantas melalaikan dari bagian kewajiban di rumah. Justru pekerjaan sebenarnya bagi ayah adalah ketika sampai di rumah. Jangan sampai karena ketiadaan perhatian orang tua lantas anak mencari orang tua lain di luar sana, “orang tua online” misalkan.

Sebagian nasehat dari ustadz Fauzhil Adhim yang saya ingat juga mirip-mirip seperti itu. Status seorang suami dan ayah tidak melepaskan dari tanggung jawab mendidik anak, ayah punya porsi untuk membangun jiwa anak. Sosok ayah diperlukan untuk membentuk kepribadian anak. Maka beliau memberikan anjuran setidaknya setiap hari jangan lewatkan 2 waktu ini. Mendampingi anak ketika bangun tidur dan mengantarkan anak ketika akan tidur.

Teladan dalam Al Qur’an

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS Al Imraan : 33-34)

Menarik untuk kita cermati bahwa ternyata Allah telah menjadikan 4 “tokoh” dalam ayat tersebut dengan kemuliaan dilebihkan dari sebagian yang lain, lalu apa hikmah dan ibrah dari ayat ini?

Kita bisa mengamati dari terjemahannya juga dari ayat aslinya bahwa ada perbedaan ketika Allah menyebutkan nama-nama di ayat itu. Allah langsung menyebut nama Nabi Adam dan Nabi Nuh, akan tetapi ketika menyebut Nabi Ibrahim dan Imran Allah juga menyertakan “keluarganya”. Dari sini dapat kita ambil hikmahnya bahwa kelurga Ibrahim dan keluarga Imran merupakan salah satu potret keluarga sukses yang perlu kita contoh. Lalu apa syaratnya sebuah keluarga itu bisa dibilang sukses? Kira kira ada 3 hal indikatornya:

1. Punya pasangan yang baik
2. Punya anak yang baik
3. Punya cucu yang baik

Keluarga Ibrahim dan keluarga Imran mempunyai ketiga syarat itu, tapi tidak Nabi Adam yang memiliki anak seorang pembunuh dan Nabi Nuh yang memiliki istri dan anak yang kafir.

Dari sini kita bisa mengambil ibrah bahwa, walaupun keluarga Nabi Adam dan Nabi Nuh tidak masuk kategori “keluarga sukses” tapi ternyata kedua Nabi ini masuk dalam ayat ini sebagai manusia pilihan dan tidak mengurangi kemuliannya.

Nabi Adam sebagai pribadi yang cepat mengakui kesalahan dan bertaubat tanpa banyak alasan (evaluasi internal), tidak menyalahkan syaitan yang menjebaknya sehingga diturunkan ke bumi. Maka dalam hal apapun, jangan bermudah-mudah menyalahkan orang lain, lakukanlah evaluasi dan muhasabah diri terlebih dahulu. Contohnya dalam mendidik anak, seandainya ada perilaku anak yang kita anggap tidak pantas maka jangan cepat menyalahkan orang lain (gurunya, temannya, tetangga, dll). Coba evaluasi diri sendiri jangan-jangan sebagai orang tua memang ada hal yang tidak kita tunaikan dengan benar. Nafkah yang halal, perhatian yang utuh, pengajaran yang semestinya, dan lain hal.

Nabi Nuh kita tau sebagai salah satu Nabi yang paling gigih berdakwah, 900 tahun lebih berdakwah dengan hanya 40an orang yang setia. Akhirnya bahkan istri dan anaknya sendiri tidak mau ikut beriman. Dari sini kita harus benar-benar pahami bahwa hidayah mutlak kuasa Allah, kita hanyalah ditugaskan untuk ikhtiar semaksimal mungkin. Ketika ada orang tua yang tidak sabar dalam mendidik anaknya lantas bahkan ada yang mengusir anaknya sendiri, maka ia sebenarnya seperti Nabi Yunus yang pergi meninggalkan umatnya karena kecewa. Maka orang tua tersebut pun berpotensi mendapatkan hukuman dari Allah berupa gelapnya hidup sebagaimana Nabi Yunus merasakan gelapnya perut ikan paus. Dikarenakan ketidak sabarannya dalam mendakwahi dan mendidik anaknya. Proses memang susah karena hadiahnya syurga, kalo mudah hadiahnya voucher pulsa XD.

Lalu kita beranjak kepada keluarga Ibrahim dan keluarga Imran. Walau keduanya masuk klasifikasi yang sama sebagai model keluarga sukses, tapi ada beberapa perbedaan mendasar yang bisa kita jadikan sebagai contoh dan pembelajaran.

1. Keluarga Ibrahim merupakan keluarga para Nabi, sedangkan keluarga Imran tidak (cuman Nabi Isa). Langsung nangkep kan maksudnya? J
Kita tidak perlu khawatir seandainya kita bukan dari keturunan keluarga aktivis ataupun keluarga dai, sebuah keluarga sukses itu bisa kita bangun terlepas kita dari keturunan keluarga dakwah ataupun dari keluarga biasa, keluarga dai itu bisa dimulai dari kita.

2. Keluarga Ibrahim poligami sedangkan seluarga Imran monogami. Jadi tidak ada tuh istilah yang poligami lebih mulia dari yang monogami, ataupun sebaliknya. Keduanya butuh ilmu untuk menjalaninya, tanpa ilmu yang ada keluarga bisa berantakan, baik yang poligami ataupun yang monogami.

  1. Keluarga Ibrahim Nomaden, sedangkan keluarga Imran permanent residence. Ini dilihat dari mobilitas kepala keluarganya. Kalo kata ustadz Bendri di suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi Ibrahim punya 4 istri di mana masing-masing istri tinggal di wilayah yang berbeda. Jarak antar wilayah satu ke yang lain bisa 2 bulan. Jadi disetiap mengunjungi istrinya Nabi Ibrahim butuh 3 bulan (1 bulan menetap, 2 bulan perjalanan).

    4. Lalu Keluarga Ibrahim itu full parent, anaknya banyak, dan semuanya laki-laki. Sedangkan keluarga Imran itu single parent (Imran sudah wafat ketika Maryam lahir), anaknya satu, dan perempuan.

    Dari perbedaan kondisi itu seolah-olah Allah ingin memberi pelajaran kepada kita bahwa kita bisa mendirikan keluarga sukses dengan kondisi apapun. Dari keluarga dai atau bukan, monogami atau poligami, nomaden atau permanent resident (saya kok menerjemahkannya jadi udah punya rumah netap atau kontrak, heu), full parent (ayah ibu lengkap) atau single parent, anak banyak atau dikit, anak laki atau perempuan. Apapun kondisinya, predikat keluarga sukses (pasangan baik, anak baik, cucu baik) bisa kita upayakan.

    Intinya, jadilah orang tua yang amanah..

    Bahkan sekalipun seandainya dengan berbagai ikhtiar dan doa maksimal kita ternyata keluarga sukses itu tidak kita dapatkan, Allah tidak menutup pintu kita bisa sukses sebagai pribadi. Sebagaimana yang Allah telah tunjukan dengan tetap menjadikan Nabi Adam dan Nabi Nuh sebagai manusia yang mendapatkan keutamaan. Karena pada akhirnya kita pun akan dihisab sendiri-sendiri bukan? Jadi jangan sampai menikah dan berkeluarga itu dijadikan tujuan akhir agar bisa hidup senang dan bahagia. Menikah dan berkeluarga itu sarana untuk meningkatkan ketakwaan kita, bentuk ibadah lain disamping ibadah yang sudah ada.

    Jadi yang sudah menikah dan juga yang sudah dikaruniai anak, syukurilah dan jadikan sebaik-baiknya ibadah dan bentuk penghambaan kepada Allah.

    Buat yang belum, upayakan itu harus karena perintah Allah dan merupakan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wasallam. Namun ketika waktunya belum tiba, penuhilah dengan banyak ibadah yang lain agar amalan ibadahnya bisa mengimbangi atau bahkan melebihi dengan yang sudah menikah dan punya anak. Jadi inget becandaan ustadz Bendri yang tadi, “Kalo jomblo (yang bener) itu biasanya tingkat tauhid Uluhiyyahnya tinggi, karena benar-benar bisa merasakan cinta itu ke Allah aja”. Heu..

    Teruntuk para keponakan Umar, Salman, Khalid, Azzam, Rasydan dan adiknya, Zhafran dan adiknya, Aurora dan Segara, Mia dan Hana beserta adik-adiknya, Tsaqif, Yumi, Fazza, juga calon keponakan lainnya jalur F&F&F dan DS lainnya. Semoga kalian Allah jadikan sebagai para jundi dakwah penerus perjuangan orang tua kalian, dan dikokohkan kaki kalian dalam jalan keistiqomahan yang memberatkan bumi ini dengan firman-firman Allah.

    Rabbanaa hablanaa min azwajinaa, wa dzurriyyatina qurrota’ayun, waj’alna lil muttaqiina imaamaa..

#catetankajiandengantambahan

[Bekal #4] And You Thought You Were Ready?!

Baby Steps to Becoming a Master Parent

By Wadud Hassan 

[An experienced educational management professional, Br. Wadud lives in Dallas, Texas with his wife and twin daughters. He can be reached at whassan[at]furqaan.org]

A father cannot give a better gift to his son than a good education. (Tirmidhi)

After being married for 10 years and then a hospital stay of close to 138 days, we were blessed with two beautiful baby girls. That was one year after we clung to the Kaaba and prayed for pious offspring. Little did we know the challenges of raising “Pious Offspring”!

My wife and I have both been involved in the field of education working as a teacher, counselor, and administrator in several local and international private and public schools and colleges.

Becoming a parent was an amazing experience, and after waiting for 10 years and being in the profession of educating children, we thought we were ready!  It is only after becoming parents that we connected with the reality that you are never fully ready until you become one!

Good parenting is like being a Good Muslim – both require continuous struggles to stay focused on our goals (that is, if we take the time to even set them in the first place), being conscious of the consequences of our choices, an ongoing and honest evaluation of ourselves, and the best efforts to improve our condition.

God does not change the condition of people until they change what is in themselves. (Qur’an 13:11)

The struggle is real but God is the best facilitator and He, out of His infinite mercy, has made His deen (religion) easy – ad-deenu yusrun (Bukhari) – and many times I find that it is our lack of knowledge, or a structured routine to bring that knowledge to practice that prevents us from moving forward. Therefore, I am here to share my personal reflection of 4 simple steps that I plan to take in raising ideal children by the enabling grace of Allah subhanahu wa ta’ala (Glorified is He). And the key to success, I feel, is in starting each of the following 4 practices in a small but consistent, meaningful and qualitative way – making the foundation of these deeds strong and grow from there. The actions most beloved to Allah are those that are small but done consistently (Bukhari).

1. Start with Yourself

Become a student of knowledgeA learned man has more power over Satan than a devout worshipper. (Tirmidhi)

  • Meet with a Scholar (someone that motivates and inspires you to remember and get closer to God) regularly. Scholars are the inheritors of the Prophets – so create a strong bond of friendship with one that prevents you and your family from stagnation. Ask his or her advice regularly. Take your child(ren) to these gatherings/meetings regularly.
  • Read books and scholarly research on Parenting in Islam, and stay in touch with the modern scientific research on parenting and child psychology (e.g. Parenting with Love and Logic www.loveandlogic.com) always examining them with the lens of Islamic ethos.
  • But above all, where else can we find guidance other than the beautiful examples of our beloved Nabi (Prophet) Muhammad ﷺ (peace be upon him)? He was sent as a mercy to the whole mankind (Qur’an 21:107), sent to perfect human character (muatta) in every role including that of the father and indeed Allah (swt) has kept the best examples in his conduct (Qur’an 33:21).

Be a role modelThe example of the person who teaches people good and neglects himself is like a lamp, which is a source of illumination for people and burns itself. (Tabarani)

  • Action speaks louder than words—and this is where we seem to fall short in today’s intellectual era where a vast amount of knowledge is easily available but only a small fraction of conforming ideals and character traits are seen in people. Rather than telling our children not to be on the iPod or watch too much TV – we can show them through our actions and read a book together!
  • Model the best character. Always advise with kindness. Teach patience by practicing patience and perseverance. Delay gratification and focus on teaching them routines. Stay silent and never discipline when angry. Verily anger destroys faith as aloe spoils honey (Baihaqi). Behave with your spouse, parents, relatives and friends kindly and courteously as our elders and scholars have recorded many incidents of people not respectful to their parents or spouse and they reaped the ill consequences of their actions by similar and unpleasant treatments from their children later in life.
  • Be a friend. Always make sincere effort to understand your children’s perspectives and do not force yours. Show love and empathize. Be easily approachable. Shall I not inform you about the person who is forbidden from the Fire and for whom the Fire is forbidden? Anyone who is close to people, soft and lenient (Ibid).

2. Ensure an Ideal Learning Environment

Create a balance between work and home—Our child’s education is equally or more important than work (depends on where we work) and hence, the need for our commitment to spend quality time with the family. Invest time in establishing an ideal learning environment at home.

Establish a timetable—Time management is the biggest challenge for us parents. We can involve our family in planning a daily schedule that everyone agrees on. Be it for 10 minutes, establish a study circle to talk, read or discuss about the essentials of deen and especially the life and sayings of the Prophet ﷺ.

Pay attention to the family’s spiritual and physical health—Create and follow a healthy diet plan, commit to physical activities with your family at least three times a week, build a daily connection with the masjid (mosque) and minimize waste of time (i.e. monitor TV, Electronic Games and Internet Access) while also having healthy choices for relaxing and rejuvenating the body and the mind.

3. Train Your Child in the Best Character and Etiquette

Keep God in mind wherever you are; follow a wrong with a right that offsets it; and treat people courteously (Tirmidhi). We find three great qualities from this hadith (prophetic narration) that we can inculcate in our children:

  1. God Consciousness – Our children need to be trained to be conscious of their actions and learn the consequences of good and bad choices.
  2. Accountability – You make the mess, you clean the mess. From a young age, always give them choices and do not be afraid to let them make a mistake, as that will provide an opportunity to impart a valuable lesson on responsibility, which they will hopefully always remember.
  3. Courtesy – This character trait should be part of an early training we provide our children. They should always be kind and courteous to their parents, teachers, peers, siblings and to all of God’s creation. Courtesy is rooted in mercy for others and this is a required characteristic of a true Muslim – courtesy must be extended to the teacher, to knowledge, and to the environment of learning.

Dedicate weekly family discussion or reading sessions on other special character traits such as respect, kindness, trustworthiness, and best effort. Enforce positive behavior—a simple acknowledgement can also go a long way.

4. Take Refuge in Du`a’

Who was able to do any of these steps better than the beloved and chosen messengers of God (may the peace and blessings of Allah be upon them)? But they knew full well that the results of their efforts and the true guidance were in the hands of Allah (swt), who has power over all things.

We, therefore, must learn to pray to Allah (swt) regularly for our children, learn the du`a’s (supplication) from the Book of Allah and the examples of Allah’s Messenger ﷺ and recite them from the heart to attract the mercy, guidance and acceptance of Allah (swt) as he is the true Murabbi (Nurturer) and can make up for our shortcomings in guiding and shaping our most valuable trust—our children. Indeed whomever Allah guides is truly guided, and whomever He misguides no one can guide him. Here are a few beautiful du`a’s from the Qur’an parents can recite regularly:

Rabbana waj`al muslimayni laka wa min dhurryatina ummatam muslimatal lak wa arina manasikana watub `alayna innaka antat tawwabur raheem.

Our Lord! And make us submissive towards you and from our offspring a nation obedient to You – and show us the ways of our worship, and incline towards us with Your mercy; indeed You only are the Most Acceptor of Repentance, the Most Merciful. (Qur’an 2:128)

Rabbi habli milla dunka dhurryatan tayyiba innaka samiud du`a’

[Zachariah prayed] My Lord, grant me from pure offsprings. Verily, You hear prayers. (Qur’an 3:38)

Rabbahuma la-en ataytana salihan lana kunanna minash shakireen

O Allah! Surely if you give us a well-formed child, we shall be forever thankful. (Qur’an 7:189)

Rabbi j`alni muqimus salati wa min dhurryyati rabbana wataqabbal du`a’

O my Lord! Maintain me as one who establishes prayer, and some of my descendants; O our Lord! and accept my prayer. (Qur’an 14:40)

Rabbi la tadharni fardaw wa anta khayrul warithin

[ Zakaria prayed] O my Lord – do not leave me without offspring, and You are the Best Inheritor. (Qur’an 21:89)

Rabbana hablana min azwajina wa dhurryatina qurrata a’yuniw waj`alna lil muttaqina imama

Our Lord, soothe our eyes with our wives and our children, and make us leaders of the pious. (Qur’an 25:74)

Source

Iseng (Part 1)

Bener deh iseng kepikiran nama-nama yang kayaknya bagus, ditulis deh biar gak lupa;

Laki:
1. Faqih Nuruddien : Paham agama dan menyebarkan cahayanya
2. Zulkarnain Al Faruq : Zulkarnain (pemisah ya’juj dan ma’juj dengan manusia dalam Al Quran) sang pemisah yang baik dan yang buruk
3.  Fathan Mubina : Kemenangan yang nyata (QS Al Fath)
4. Abdullah Ar Rijal : Hamba Allah laki-laki
5. Ahsan Ibadurrahman : Ahsan Hamba Allah yang beriman (QS Al Furqan)
6. Ja’far Siddiq : Ja’far (nama sahabat) yang jujur

Perempuan:
1. Asiyah Nurul’ilm : Asiyah (istri fir’aun, dalam hadist disebutkan sebagai salah 1 dari 4 wanita paling mulia di dunia) sang cahaya ilmu
2. Saudah Afifah : Saudah (sahabiyah) yang memiliki harga diri/bermartabat
3. Shafiyah Nurul Syifaa : Shafiyah (sahabiyah) sang cahaya penyembuh/obat
4. Hafshah Rhaudatul Jannah : Hafshah (sahabiyah) sang taman surga
5. Halimah Izzatunnisa : Halimah (sahabiyah) yang menjaga kemuliaannya sebagai seorang wanita

Dulu banget kepikirannya pengen pake nama Umar ternyata pas jadi nama keponakan, terus kepikiran Salman, eh pas juga dipake ama keponakan jalur temen. Karena nama adalah doa, rasanya menggunakan nama sahabat itu penuh dengan doa oleh kisah epic perjuangannya, serta bisa menjadi narasi cerita pengantar tidur mereka 🙂

Semoga nanti bisa dipakai salah satu ato salah banyaknya :p
Bi idznillah..

Jika Allah Mengizinkanmu Hadir

Jika Allah mengizinkamu hadir
Ingin ku menjadi sosok yang mampu memenuhi segala hak mu, lebih dari sekedar pemenuhan materi, tapi juga pemenuh kebutuhan jiwamu.

Jika Allah mengizinkamu hadir
Ku berharap dan akan berusaha, bahwa waktu ku tidak habis hanya untuk pekerjaanku. Inginku berada di sana, saat engkau bangun dan membersamaimu ke mesjid di awal hari. Juga mengantarmu tidur disertai kisah para Nabi. Menyertaimu tumbuh dan berkembang setiap waktunya. Saat janin dan bayimu, saat balita dan remajamu, saat dewasa dan menikahmu.

Jika Allah mengizinkanmu hadir
Aku menuntut diriku, menjadi orang pertama yang kan membimbingmu mengeja ayat-ayat kalam Illahi. Dari sana kita bisa belajar banyak sekali hal. Ada Al Fatihah sang pembuka yang berisi doa penghambaan yang sangat indah, ada Al Ikhlas ikrar tauhid kita, Ada Asy Syams yang menjelaskan potensi fujur dan takwa kita, ada kisah para pendahulu dari keluarga Imran, Asiyah, Pemuda Kahfi, Ashabul Ukhdud, sampai akhir zaman.

Ah ya, tentu itu semua perlu didahului dengan memperbaiki diriku agar bisa menjadi orang tua yang pantas bagi dirimu.

Bi Idznillah..